Minggu, 01 Februari 2009
WILAYAH KARS
Patok Batas Hilang akibat Pengusaha Malaysia Bangun Jalan
28 Januari 2009
Patok tapal batas pada areal sepanjang dua kilometer di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, hilang karena dibangun jalan oleh perusahaan kelapa sawit asal Malaysia.
"Temuan itu hasil pantauan langsung ke perbatasan sekitar dua pekan lalu," kata Komandan Korem (Danrem) 121 Alambhana Wanawwai Kol (Inf) Nukman Kasodi seusai mengikuti upacara HUT ke-52 Provinsi Kalimantan Barat (Kalbar) di Kantor Gubernur, Rabu (28/1).
Aksi pengusaha Malaysia itu sudah dilaporkan Danrem 121/ABW kepada Pangdam VI/Tanjungpura Mayjen TNI Tono Suratman di Balikpapan, Kalimantan Timur, Markas Besar Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (Mabes TNI-AD), Mabes TNI, dan Departemen Pertahanan.
Menurut Nukman, patok yang hilang tersebut harus dibangun kembali karena menjelaskan batas antarnegara. "Meski patok tidak ada, tapi posisinya tidak akan hilang," katanya.
Ia menambahkan, dari pantauan Korem 121 ABW, jumlah patok tapal batas yang hilang secara keseluruhan sekitar 50 buah dan tersebar di lima kabupaten yang berbatasan langsung dengan Sarawak. Patok yang hilang sebagian besar tipe D.
Ada empat jenis patok tapal batas. Tipe A memiliki jarak antarpatok sekitar 200 kilometer - 300 kilometer. Tipe B sekitar 10 kilometer, Tipe C satu kilometer dan Tipe D 100 meter - 200 meter.
"Patok-patok tersebut tersebar di perbatasan Kalbar Sarawak yang panjangnya 1.004 kilometer mulai dari Tanjung Datuk di sebelah barat hingga perbatasan Kalbar dengan Kaltim di timur," katanya.
Patok yang hilang tersebut karena longsor atau sengaja dihilangkan. "Kalau dihilangkan, oleh orang yang membuka lahan atau jalan karena patok-patok itu sebelumnya tertutup pohon," kata Nukman.
Lokasinya di Kabupaten Kapuas Hulu, Sanggau, Bengkayang dan Sambas. "Rata-rata di daerah yang sudah dikembangkan kegiatan masyarakat," katanya.
IKLIM
Indonesia-Jepang Antisipasi Bencana Perubahan Iklim
31 Januari 2009
Indonesia menjalin kerjasama dengan Japan for International Cooperation Agency (JICA) dalam mengantisipasi bencana sebagai akibat terjadinya perubahan iklim.
"Jepang memiliki pengalaman dalam menangani bencana semacam ini, ini yang menjadi dasar kerjasama dengan kami," kata Dirjen Sumber Daya Air Departemen PU, Iwan Nusyirwan Diar di Jakarta, Rabu.
Iwan yang ditemui disela-sela seminar kerjasama dengan JICA mengenai antisipasi bencana akibat perubahan iklim mengatakan, bersama JICA berusaha merumuskan sebuah kebijakan dan strategi pengelolaan sumber daya air menghadapi perubahan iklim.
Sejak Kyoto Protocol disepakati Indonesia, maka perlu dibuat beberapa strategi kedepan terhadap dampak perubahan iklim, jelas Iwan.
Strategi-strategi tersebut diantaranya, strategi mitigasi dengan mengelola tata air pada lahan- lahan gambut (low land) dalam rangka mengurangi kerentanan kebakaran pada lahan gambut (pengendalian emisi gas rumah kaca) dan mendukung kegiatan penghijauan di daerah aliran sungai yang kritis dan kawasan hulu sungai.
Strategi adaptasi melalui peningkatan pengelolaan bangunan infrastruktur sumber daya air untuk mendukung ketahan pangan, pengembangan pengelolaan resiko bencana untuk banjir dan kekeringan.
Perlindungan pantai karena permukaan air laut mengalami kenaikan ditandai dengan mencairnya es di kutub utara. Kemudian, meningkatkan kampanye hemat air.
Kedua strategi diatas sangat penting dilakukan karena perubahan iklim juga dapat berdampak pada terjadinya krisis pangan, krisis air global dan krisis energi sebagai akibat dari kondisi perubahan iklim yang ekstrem.
Dampak perubahan iklim tidak hanya dialami oleh Indonesia namun juga dialami negara- negara dibelahan dunia lainnya termasuk Jepang.
Dari data yang ada menunjukan bahwa telah terjadi anomali yang signifikan, khususnya dalam 25 tahun terakhir seperti meningkatnya temperatur global, naiknya permukaan air laut dan sering terjadinya kondisi ekstrim seperti banjir, tanah longsor dan kekeringan
"Jepang memiliki pengalaman dalam menangani bencana semacam ini, ini yang menjadi dasar kerjasama dengan kami," kata Dirjen Sumber Daya Air Departemen PU, Iwan Nusyirwan Diar di Jakarta, Rabu.
Iwan yang ditemui disela-sela seminar kerjasama dengan JICA mengenai antisipasi bencana akibat perubahan iklim mengatakan, bersama JICA berusaha merumuskan sebuah kebijakan dan strategi pengelolaan sumber daya air menghadapi perubahan iklim.
Sejak Kyoto Protocol disepakati Indonesia, maka perlu dibuat beberapa strategi kedepan terhadap dampak perubahan iklim, jelas Iwan.
Strategi-strategi tersebut diantaranya, strategi mitigasi dengan mengelola tata air pada lahan- lahan gambut (low land) dalam rangka mengurangi kerentanan kebakaran pada lahan gambut (pengendalian emisi gas rumah kaca) dan mendukung kegiatan penghijauan di daerah aliran sungai yang kritis dan kawasan hulu sungai.
Strategi adaptasi melalui peningkatan pengelolaan bangunan infrastruktur sumber daya air untuk mendukung ketahan pangan, pengembangan pengelolaan resiko bencana untuk banjir dan kekeringan.
Perlindungan pantai karena permukaan air laut mengalami kenaikan ditandai dengan mencairnya es di kutub utara. Kemudian, meningkatkan kampanye hemat air.
Kedua strategi diatas sangat penting dilakukan karena perubahan iklim juga dapat berdampak pada terjadinya krisis pangan, krisis air global dan krisis energi sebagai akibat dari kondisi perubahan iklim yang ekstrem.
Dampak perubahan iklim tidak hanya dialami oleh Indonesia namun juga dialami negara- negara dibelahan dunia lainnya termasuk Jepang.
Dari data yang ada menunjukan bahwa telah terjadi anomali yang signifikan, khususnya dalam 25 tahun terakhir seperti meningkatnya temperatur global, naiknya permukaan air laut dan sering terjadinya kondisi ekstrim seperti banjir, tanah longsor dan kekeringan
Langganan:
Postingan (Atom)